Pages

Selamat Datang di Blog Lhaniie TKJ-1

Kamis, 25 April 2013

Di Atas Bukit Senja



Penulis : Anis Nurliawati Dewi

Ia menjejakan kaki di atas bukit yang telah digelayuti mega jingga. Mencari seseorang nampaknya. Samar-samar, terlihat seorang anak sebaya dirinya sedang rebahan di atas bukit tak jauh darinya. Yap, dia telah menemukan apa yang dicarinya. Dia langsung berseru pada anak yang sedang rebahan itu, “Hei, apa yang kau lakukan itu, boi?”
“Isssh, apa pula kau ni? Tak perlu kau berteriak-teriak macam tu, kau anggap tuli kawan kau ni, ha?” sahut yang diteriaki dengan nada sedikit kesal.
“Bukan begitu. Kulihat akhir-akhir ini kau aneh, Zul. Merenung hampir di semua tempat yang kau injak. Aih, bahkan rumput pun tak kan ridho, Zul. Apa yang sebenarnya terjadi kawan? Tak maukah kau berbagi keluh kesah denganku? Telah lama kita berkawan, tak perlu kau membenamkan perasaan carut-marutmu itu. Tak guna. Bahkan di dalam kandungan ibu pun, kita telah ditakdirkan untuk memahami perasaan satu sama lain, Zul. Aku paham perasaanmu. Paham sekali.” Tutur Awang—anak yang tadi berteriak pada makhluk yang dilihatnya rebahan di atas bukit—panjang lebar. Zul hanya melongo, terkaget-kaget dengan ucapan sahabatnya yang amat karib sejak kecil itu. Awang berbicara layaknya ia paham Zul luar dalam. Bulu kuduk Zul jadi berdiri karena ucapan Awang tadi. Mungkinkah hubungannya sudah kelewat batas? Kepalanya berdenyut-denyut. Bertambahlah satu lagi isi kepalanya yang akan menambah sering renungannya. Pikirannya mulai melayang, adakah Awang mulai bermasalah dengan otaknya? Hah, ini pasti karena pengaruh pendidikan yang tak beres. Menerka-nerka Awang menderita sakit otak seperti itu, menambah yakin hatinya bahwa ia harus membuat orangtuanya memberi lampu hijau pada keinginan mulianya: sekolah. Baginya, tak ada bangunan yang lebih indah di belahan dunia manapun dari bangunan yang di dalamnya orang-orang secara jama’ah atau munfarid menuntut ilmu. Masjid, madrasah, hingga majlis taklim tempat ibu-ibu berkumpul pun ia kagumi. Tentu saja karena pandangan luar biasanya terhadap ilmu. Ilmu telah membuatnya tergila-gila bahkan mendekati benar-benar gila. Dia mulai berkhayal—tentang ilmu, tentu saja—ketika ada helikopter milik TNI AU yang melintasi pulaunya untuk berpatroli di sekitar hutan tak jauh dari rumahnya. Dia juga berkhayal ketika ia sedang rebahan di atas padang rumput menjelang senja. Seperti yang dilakukannya sekarang. Ketika di ladang, di hutan, di jalan-jalan di sungai-sungai, di manapun ia berada, ia meracau tentang ilmu pada orang di sampingnya. Bahkan, saat tak ada orang yang bisa ia temui pun, tak jarang ia akan monolog bersama makhluk yang entah bagaimana acaranya, ia anggap sebagai lawan bicaranya.

Zul dan Awang adalah dua bocah berusia tiga belas tahunan yang tinggal di salah satu jantungnya ke-terpencilan di Indonesia. Mereka telah bersahabat sejak kecil. Karena orangtua mereka pun begitu, bersahabat. Rumah mereka memang tak terlalu dekat jaraknya. Tapi, untuk  pola perumahan di daerah terpencil, jarak itu adalah dekat.
Lama membiarkan karibnya, Zul akhirnya angkat suara. “Aku ingin melanjutkan sekolahku, Wang. Sekolah yang tinggi. Setinggi-tingginya, bahkan sampai langit kalaulah mampu. Agar semua dunia bisa melihat dari bawah.” Awang terkejut. “Apa? Tak salah bicaramu itu? Macam penyair yang sering bersuara di radio saja. Kau tahu, stasiun radio yang bisa ditangkap di sini hanya ada dua, Zul. Betapa jauhnya kita dari peradaban sekolah. Dulu, ketika SD pun kita sudah harus menyeberangi sungai, berjalan menembus rimba, berpuluh kilometer. Tapi apa yang kita dapat, Zul? Pelajaran tidak jelas. Hanya menimbulkan impian semu tentang kejayaan. Kalau bukan karena kau, tak mau lah aku bertahan sampai bertahun-tahun di sana. Bodohnya aku yang tetap mengikuti kata-kata konyolmu dulu.”
Mendengar Awang membalas ucapannya seperti itu, Zul pun tak mau kalah. “Hei, Wang, tak ingatkah kau apa kata guru ngaji kita, tuntutlah ilmu bahkan sampai ke negeri China. Bagaimana bisa kau berkata macam tu pada keinginanku ini?” Zul muntab, bagaimana bisa, kawan sejatinya, yang barusan saja mengatakan paham sepenuhnya tentang dirinya, malah merendahkan keinginan mulianya selama ini?
“Tentu aku ingat, bahkan sampai kapanpun akan kuingat, untuk kubagi dengan anakku kelak.”  Jawab Awang. “Lalu kenapa kau merendahkan keinginanku itu? Bukankah itu bagus?” Zul masih ingin tahu alasan apa yang digunakan Awang untuk merendahkan keinginannya. “Zul, kawanku, perintahnya adalah menuntut ilmu, bukan sekolah. Kau tahu bagaimana kehidupan kita ini? Kita tak perlu jauh-jauh bersekolah. Di sinipun, kalau kau mau, kau akan dapat ilmu. Rimba di bukit belakang sana, sudahkah kau jelajahi sepenuhnya dan kau gali ilmu sedalam-dalamnya? Kalaupun kau ingin pergi ke China, pergilah dengan niat untuk mencari ilmu, jangan untuk sekolah. Karena, ilmu itu tak selalu didapat dengan sekolah, boi.” Jawab Awang dengan amat bijak. Kali ini Zul sangsi, mana yang sebenarnya kurang waras dan sakit otak? Ia atau karibnya? Awang yang dikenalnya, kini menjadi begitu mirip dengan penyiar radio yang membawakan acara tentang renungan kehidupan. Mungkinkah ia mengutip salah satu kalimat dari penyiar-penyiar itu? Ah, rasa-rasanya tidak. Sebab ia tak pernah melewatkan acara itu dan ia belum pernah mendengar kalimat yang Awang lontarkan barusan. Tidak mau kandas begitu saja, Zul menimpali, “Tak tahukah kau, Wang, penyiar-penyiar radio itu adalah orang-orang berpendidikan. Mereka lulusan sekolah yang tinggi. Mereka pun sering menyebut-nyebut nama-nama orang terkenal di negeri ini dengan rentetan gelar yang panjang. Tak banggakah kau saat kelak aku mendapat gelar seperti mereka juga? Prof. Dr. Zulkifli Baharudin, Phd.” Kata Zul membanggakan diri dengan menyebut gelar yang entah betul atau salah.
“Apa kau kira kita bukanlah orang-orang berpendidikan, Zul? Tega sekali kau pada orangtua kita jika kau menyebut demikian. Lalu, apa guna gelarmu yang panjang itu jika perilakumu tak baik? Seperti nama-nama terkenal yang sering disebutkan dalam acara tentang pemerintah kita di radio. Mereka itulah yang membuat tempat yang kita tinggali jauh dari mana-mana. Pasar, sekolah, puskesmas, dan tempat-tempat penting lainnya. Uang yang seharusnya untuk pendidikan, masuk ke rekening kekayaan mereka, menggendutkan perut-perut mereka. Kau mau jadi orang-orang seperti itu, Zul?” Awang mulai memanas. Zul ketar-ketir. Menggigit bibir, menggaruk kepala yang entah sudah berapa lama tak dibasuh sampo. Kenapa jadi begini? Ia terdiam. Lama. Merenung lagi. Benarkah yang selama ini ia impikan? Tambah carut-marutlah pikirannya, semakin keritinglah rambutnya. Awang amat pintar sekarang. Ia bahkan selalu belajar dari kehidupan dan pengalaman. Sementara ia hanya merenungi impian mustahilnya.
“Zul, ilmu itu ada dalam setiap sendi kehidupan kita. Aku tahu, keinginanmu mulia. Hanya saja, aku tentu tak kan ridho jika kau menjadi seperti orang-orang yang disebut-sebut di radio itu. Tak kan kubiarkan kau keluar barang sejengkalpun dari tanah ini jika cita-citamu seperti itu.” Awang menambahi, sementara Zul masih berkutat dengan pikirannya yang tak kunjung menemukan ujung.
“Bukan begitu, Wang. Cita-citaku sederhana, aku hanya ingin melihat sekolah-sekolah di luar sana. Katanya gedung-gedungnya bahkan menyentuh langit. Sementara sekolah kita, hanya ada satu dan itupun tak layak disebut sekolah, lebih mirip tempat istirahat kita di huma. Aku ingin masuk ke sekolah itu, menuntut ilmu di dalamnya, belajar bersama-sama anak-anak dari seberang pulau, mengenal budaya mereka dan mengenalkan kebudayaan kita pada mereka, serta berbagi pengalaman. Kelak, saat aku lulus dan punya keahlian, aku akan kembali untuk menceritakan semua yang kudapat dan menerapkannnya di kampung kita ini.” Zul membela diri. Berharap kawan yang berdiplomasi tahu segalanya tentang dirinya itu mengerti dan memaklumi. Syukur-syukur memberi ridho, ongkos juga tentunya..
“Bagus jika niatmu begitu. Hanya saja, Zul, lingkungan di sana pasti akan jauh berbeda. Kalau imanmu belum kuat dan azzammu belum bulat, justru kaulah yang akan terseret arus mereka.” Kata Awang dengan nada khawatir.
Zul yang menyadari perubahan nada suara Awang, menoleh dan menatap Awang lekat-lekat. Ia perhatikan wajah kawannya itu dalam-dalam. Ada raut kesedihan yang terlintas walau hanya samar. Rahang kecilnya yang kokoh telah berhasil menyembunyikannya. Ia tahu bahwa sahabatnya itu amat peduli dengannya. “Wang, kampung kita ini butuh perubahan. Kalau memang pemerintah tak bisa menjangkau kampung kita yang teramat pelosok ini, biarlah kita, anak-anak rimba, gunung, dan laut ini yang akan menjangkau mereka di kursi-kursi empuk mereka.” Zul menambahkan. Awang berpikir sejenak kemudian berkata, “Rimba kita, ladang kita, laut kita, dan gunung-gunung kita, menyimpan banyak filosofi, Zul. Ilmu amat melimpah di dalamnya. Kau tak perlu lama-lama duduk dengan pelajaran aneh yang tak jelas. Kau hanya butuh keberanian untuk merambah dan menyentuhnya, maka kau akan bijak menyelami kehidupan ini. Alam mendidik kita, anak-anak kampung terpencil, lebih banyak.” Zul masih tak ingin kalah dengan perdebatan—yang lebih cocok disebut curahan hati dua bocah ingusan dari salah satu kampung terpencil Indonesia—ini. Ia masih ingin berargumentasi dengan Awang—sahabat serbatahunya. “Tapi Wang, butuh keahlian untuk menaklukan rimba, ladang, laut dan gunung-gunung itu. Teknik-teknik untuk memanfaatkan apa yang ada di alam dengan segala kelebihannya tanpa merusaknya.” Zul memantapkan pemikirannya pada Awang.
Awang lama terdiam. Mencoba menyerap makna dalam-dalam pada kalimat yang Zul lontarkan. Awang tahu keyakinan mimpi Zul sejak dulu. Hanya saja, ada sesuatu yang membuatnya belum yakin tentang niat Zul. Maka ia pun merenungkan dalam-dalam. “Hmmh…” Awang berdesah, “Kau benar, Zul. Perlu teknik dalam setiap langkah. Kudengar dari radio banyak sekali teknologi canggih yang sudah berkembang. Mungkin dengan kau duduk di bangku sekolah yang gedung-gedungnya amat tinggi, hingga tingginya mencapai langit itu, akan membawa perubahan di kampung kita tercinta. Meningkatkan penghasilan dan kualitas sumber daya manusianya. Katakan baik-baik tentang niat baikmu pada kedua orangtuamu. Bergegaslah, bukankah sekolah macam itu punya batas waktu pendaftaran juga? Jangan terlambat jika kau tidak ingin menunggu satu tahun lagi.” Kata Awang akhirnya. Zul, sudah pasti terperanjat. Ia mengibaskan telinganya dengan tangan, mungkinkah ia salah dengar? Tapi ia yakin sedang tidak bermimpi. Ia masih bisa merasakan duri putri malu sesekali mengenai tubuhnya yang sedang rebahan di atas bukit sambil memandangi matahari sore—yang kali ini ditemani sahabat terbaiknya sepanjang masa, Awang Zuhaedi. “Benarkah, Wang? Kau merestuiku?” Tanya Zul masih tak percaya. “Demi sahabatku, dan keyakinan mimpi serta harapanmu, Zul. Aku ridhoi niat baikmu itu.” Jawab Awang mantap. “Semoga jalanmu dimudahkan oleh-Nya.” Tambah Awang. Zul merangkul sahabat sejak kecilnya itu. Merangkulnya dengan erat. Tak henti-hentinya ucapan syukur mengalir dari bibirnya. Awang pun ikut berkomat-kamit. Ia berulangkali memanjatkan do’a untuk sahabat sejatinya itu. Zul tahu, ini baru awal perjuangannya. Mendapat restu dari sahabatnya. Belum dari orangtuanya. Ia tahu, orangtuanya akan mendebatnya seperti Awang. Bahkan mungkin lebih parah. Tapi ia juga tahu, Awang—sahabat sejatinya sepanjang masa—telah mendukungnya. Dukungan dari Awang adalah pil pembangkit semangat kapan saja. Ia telah mendapatkan pil itu, maka ia tak kan pusing dan mudah menyerah begitu saja.
Dua bocah kampung itu masih bersenda gurau di bawah langit senja yang jingga di temani burung-burung yang ramai mulai kembali ke sarangnya, di atas bukit yang berada di sebelah kampungnya. Mereka mencoba merangkai mimpi pada awan jingga. Berharap angin senja membawa mimpinya pada kehidupan nyata. Bercengkerama sebelum akhirnya mimpi-mimpi mereka memisahkan raga mereka dalm damai dan kepuasaan. Pada senja di atas bukit, mereka labuhkan kelelahan berharap di hari itu. Mandamba perubahan pada setiap hembusan angin sore musim kemarau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar