Ia
menjejakan kaki di atas bukit yang telah digelayuti mega jingga. Mencari
seseorang nampaknya. Samar-samar, terlihat seorang anak sebaya dirinya sedang
rebahan di atas bukit tak jauh darinya. Yap, dia telah menemukan apa yang
dicarinya. Dia langsung berseru pada anak yang sedang rebahan itu, “Hei, apa
yang kau lakukan itu, boi?”
“Isssh,
apa pula kau ni? Tak perlu kau berteriak-teriak macam tu, kau anggap tuli kawan
kau ni, ha?” sahut yang diteriaki dengan nada sedikit kesal.
“Bukan
begitu. Kulihat akhir-akhir ini kau aneh, Zul. Merenung hampir di semua tempat
yang kau injak. Aih, bahkan rumput pun tak kan ridho, Zul. Apa yang sebenarnya
terjadi kawan? Tak maukah kau berbagi keluh kesah denganku? Telah lama kita
berkawan, tak perlu kau membenamkan perasaan carut-marutmu itu. Tak guna.
Bahkan di dalam kandungan ibu pun, kita telah ditakdirkan untuk memahami
perasaan satu sama lain, Zul. Aku paham perasaanmu. Paham sekali.” Tutur Awang—anak
yang tadi berteriak pada makhluk yang dilihatnya rebahan di atas bukit—panjang
lebar. Zul hanya melongo, terkaget-kaget dengan ucapan sahabatnya yang amat
karib sejak kecil itu. Awang berbicara layaknya ia paham Zul luar dalam. Bulu
kuduk Zul jadi berdiri karena ucapan Awang tadi. Mungkinkah hubungannya sudah
kelewat batas? Kepalanya berdenyut-denyut. Bertambahlah satu lagi isi kepalanya
yang akan menambah sering renungannya. Pikirannya mulai melayang, adakah Awang
mulai bermasalah dengan otaknya? Hah, ini pasti karena pengaruh pendidikan yang
tak beres. Menerka-nerka Awang menderita sakit otak seperti itu, menambah yakin
hatinya bahwa ia harus membuat orangtuanya memberi lampu hijau pada keinginan
mulianya: sekolah. Baginya, tak ada bangunan yang lebih indah di belahan dunia
manapun dari bangunan yang di dalamnya orang-orang secara jama’ah atau munfarid
menuntut ilmu. Masjid, madrasah, hingga majlis taklim tempat ibu-ibu berkumpul
pun ia kagumi. Tentu saja karena pandangan luar biasanya terhadap ilmu. Ilmu
telah membuatnya tergila-gila bahkan mendekati benar-benar gila. Dia mulai
berkhayal—tentang ilmu, tentu saja—ketika ada helikopter milik TNI AU yang
melintasi pulaunya untuk berpatroli di sekitar hutan tak jauh dari rumahnya.
Dia juga berkhayal ketika ia sedang rebahan di atas padang rumput menjelang
senja. Seperti yang dilakukannya sekarang. Ketika di ladang, di hutan, di
jalan-jalan di sungai-sungai, di manapun ia berada, ia meracau tentang ilmu
pada orang di sampingnya. Bahkan, saat tak ada orang yang bisa ia temui pun,
tak jarang ia akan monolog bersama makhluk yang entah bagaimana acaranya, ia
anggap sebagai lawan bicaranya.
Zul
dan Awang adalah dua bocah berusia tiga belas tahunan yang tinggal di salah
satu jantungnya ke-terpencilan di Indonesia. Mereka telah bersahabat sejak
kecil. Karena orangtua mereka pun begitu, bersahabat. Rumah mereka memang tak
terlalu dekat jaraknya. Tapi, untuk pola
perumahan di daerah terpencil, jarak itu adalah dekat.
Lama
membiarkan karibnya, Zul akhirnya angkat suara. “Aku ingin melanjutkan
sekolahku, Wang. Sekolah yang tinggi. Setinggi-tingginya, bahkan sampai langit
kalaulah mampu. Agar semua dunia bisa melihat dari bawah.” Awang terkejut.
“Apa? Tak salah bicaramu itu? Macam penyair yang sering bersuara di radio saja.
Kau tahu, stasiun radio yang bisa ditangkap di sini hanya ada dua, Zul. Betapa
jauhnya kita dari peradaban sekolah. Dulu, ketika SD pun kita sudah harus
menyeberangi sungai, berjalan menembus rimba, berpuluh kilometer. Tapi apa yang
kita dapat, Zul? Pelajaran tidak jelas. Hanya menimbulkan impian semu tentang
kejayaan. Kalau bukan karena kau, tak mau lah aku bertahan sampai
bertahun-tahun di sana. Bodohnya aku yang tetap mengikuti kata-kata konyolmu
dulu.”
Mendengar
Awang membalas ucapannya seperti itu, Zul pun tak mau kalah. “Hei, Wang, tak
ingatkah kau apa kata guru ngaji kita, tuntutlah ilmu bahkan sampai ke negeri
China. Bagaimana bisa kau berkata macam tu pada keinginanku ini?” Zul muntab,
bagaimana bisa, kawan sejatinya, yang barusan saja mengatakan paham sepenuhnya
tentang dirinya, malah merendahkan keinginan mulianya selama ini?
“Tentu
aku ingat, bahkan sampai kapanpun akan kuingat, untuk kubagi dengan anakku kelak.” Jawab Awang. “Lalu kenapa kau merendahkan
keinginanku itu? Bukankah itu bagus?” Zul masih ingin tahu alasan apa yang
digunakan Awang untuk merendahkan keinginannya. “Zul, kawanku, perintahnya
adalah menuntut ilmu, bukan sekolah. Kau tahu bagaimana kehidupan kita ini?
Kita tak perlu jauh-jauh bersekolah. Di sinipun, kalau kau mau, kau akan dapat
ilmu. Rimba di bukit belakang sana, sudahkah kau jelajahi sepenuhnya dan kau
gali ilmu sedalam-dalamnya? Kalaupun kau ingin pergi ke China, pergilah dengan niat
untuk mencari ilmu, jangan untuk sekolah. Karena, ilmu itu tak selalu didapat
dengan sekolah, boi.” Jawab Awang dengan amat bijak. Kali ini Zul sangsi, mana
yang sebenarnya kurang waras dan sakit otak? Ia atau karibnya? Awang yang
dikenalnya, kini menjadi begitu mirip dengan penyiar radio yang membawakan
acara tentang renungan kehidupan. Mungkinkah ia mengutip salah satu kalimat
dari penyiar-penyiar itu? Ah, rasa-rasanya tidak. Sebab ia tak pernah
melewatkan acara itu dan ia belum pernah mendengar kalimat yang Awang lontarkan
barusan. Tidak mau kandas begitu saja, Zul menimpali, “Tak tahukah kau, Wang,
penyiar-penyiar radio itu adalah orang-orang berpendidikan. Mereka lulusan
sekolah yang tinggi. Mereka pun sering menyebut-nyebut nama-nama orang terkenal
di negeri ini dengan rentetan gelar yang panjang. Tak banggakah kau saat kelak
aku mendapat gelar seperti mereka juga? Prof. Dr. Zulkifli Baharudin, Phd.”
Kata Zul membanggakan diri dengan menyebut gelar yang entah betul atau salah.
“Apa
kau kira kita bukanlah orang-orang berpendidikan, Zul? Tega sekali kau pada
orangtua kita jika kau menyebut demikian. Lalu, apa guna gelarmu yang panjang
itu jika perilakumu tak baik? Seperti nama-nama terkenal yang sering disebutkan
dalam acara tentang pemerintah kita di radio. Mereka itulah yang membuat tempat
yang kita tinggali jauh dari mana-mana. Pasar, sekolah, puskesmas, dan
tempat-tempat penting lainnya. Uang yang seharusnya untuk pendidikan, masuk ke
rekening kekayaan mereka, menggendutkan perut-perut mereka. Kau mau jadi
orang-orang seperti itu, Zul?” Awang mulai memanas. Zul ketar-ketir. Menggigit
bibir, menggaruk kepala yang entah sudah berapa lama tak dibasuh sampo. Kenapa
jadi begini? Ia terdiam. Lama. Merenung lagi. Benarkah yang selama ini ia
impikan? Tambah carut-marutlah pikirannya, semakin keritinglah rambutnya. Awang
amat pintar sekarang. Ia bahkan selalu belajar dari kehidupan dan pengalaman.
Sementara ia hanya merenungi impian mustahilnya.
“Zul,
ilmu itu ada dalam setiap sendi kehidupan kita. Aku tahu, keinginanmu mulia.
Hanya saja, aku tentu tak kan ridho jika kau menjadi seperti orang-orang yang
disebut-sebut di radio itu. Tak kan kubiarkan kau keluar barang sejengkalpun
dari tanah ini jika cita-citamu seperti itu.” Awang menambahi, sementara Zul
masih berkutat dengan pikirannya yang tak kunjung menemukan ujung.
“Bukan
begitu, Wang. Cita-citaku sederhana, aku hanya ingin melihat sekolah-sekolah di
luar sana. Katanya gedung-gedungnya bahkan menyentuh langit. Sementara sekolah
kita, hanya ada satu dan itupun tak layak disebut sekolah, lebih mirip tempat
istirahat kita di huma. Aku ingin masuk ke sekolah itu, menuntut ilmu di
dalamnya, belajar bersama-sama anak-anak dari seberang pulau, mengenal budaya
mereka dan mengenalkan kebudayaan kita pada mereka, serta berbagi pengalaman.
Kelak, saat aku lulus dan punya keahlian, aku akan kembali untuk menceritakan
semua yang kudapat dan menerapkannnya di kampung kita ini.” Zul membela diri.
Berharap kawan yang berdiplomasi tahu segalanya tentang dirinya itu mengerti dan
memaklumi. Syukur-syukur memberi ridho, ongkos juga tentunya..
“Bagus
jika niatmu begitu. Hanya saja, Zul, lingkungan di sana pasti akan jauh
berbeda. Kalau imanmu belum kuat dan azzammu belum bulat, justru kaulah yang akan
terseret arus mereka.” Kata Awang dengan nada khawatir.
Zul
yang menyadari perubahan nada suara Awang, menoleh dan menatap Awang
lekat-lekat. Ia perhatikan wajah kawannya itu dalam-dalam. Ada raut kesedihan
yang terlintas walau hanya samar. Rahang kecilnya yang kokoh telah berhasil menyembunyikannya.
Ia tahu bahwa sahabatnya itu amat peduli dengannya. “Wang, kampung kita ini
butuh perubahan. Kalau memang pemerintah tak bisa menjangkau kampung kita yang
teramat pelosok ini, biarlah kita, anak-anak rimba, gunung, dan laut ini yang
akan menjangkau mereka di kursi-kursi empuk mereka.” Zul menambahkan. Awang
berpikir sejenak kemudian berkata, “Rimba kita, ladang kita, laut kita, dan
gunung-gunung kita, menyimpan banyak filosofi, Zul. Ilmu amat melimpah di
dalamnya. Kau tak perlu lama-lama duduk dengan pelajaran aneh yang tak jelas.
Kau hanya butuh keberanian untuk merambah dan menyentuhnya, maka kau akan bijak
menyelami kehidupan ini. Alam mendidik kita, anak-anak kampung terpencil, lebih
banyak.” Zul masih tak ingin kalah dengan perdebatan—yang lebih cocok disebut
curahan hati dua bocah ingusan dari salah satu kampung terpencil Indonesia—ini.
Ia masih ingin berargumentasi dengan Awang—sahabat serbatahunya. “Tapi Wang,
butuh keahlian untuk menaklukan rimba, ladang, laut dan gunung-gunung itu.
Teknik-teknik untuk memanfaatkan apa yang ada di alam dengan segala
kelebihannya tanpa merusaknya.” Zul memantapkan pemikirannya pada Awang.
Awang
lama terdiam. Mencoba menyerap makna dalam-dalam pada kalimat yang Zul
lontarkan. Awang tahu keyakinan mimpi Zul sejak dulu. Hanya saja, ada sesuatu
yang membuatnya belum yakin tentang niat Zul. Maka ia pun merenungkan
dalam-dalam. “Hmmh…” Awang berdesah, “Kau benar, Zul. Perlu teknik dalam setiap
langkah. Kudengar dari radio banyak sekali teknologi canggih yang sudah
berkembang. Mungkin dengan kau duduk di bangku sekolah yang gedung-gedungnya
amat tinggi, hingga tingginya mencapai langit itu, akan membawa perubahan di kampung
kita tercinta. Meningkatkan penghasilan dan kualitas sumber daya manusianya.
Katakan baik-baik tentang niat baikmu pada kedua orangtuamu. Bergegaslah,
bukankah sekolah macam itu punya batas waktu pendaftaran juga? Jangan terlambat
jika kau tidak ingin menunggu satu tahun lagi.” Kata Awang akhirnya. Zul, sudah
pasti terperanjat. Ia mengibaskan telinganya dengan tangan, mungkinkah ia salah
dengar? Tapi ia yakin sedang tidak bermimpi. Ia masih bisa merasakan duri putri
malu sesekali mengenai tubuhnya yang sedang rebahan di atas bukit sambil
memandangi matahari sore—yang kali ini ditemani sahabat terbaiknya sepanjang
masa, Awang Zuhaedi. “Benarkah, Wang? Kau merestuiku?” Tanya Zul masih tak
percaya. “Demi sahabatku, dan keyakinan mimpi serta harapanmu, Zul. Aku ridhoi
niat baikmu itu.” Jawab Awang mantap. “Semoga jalanmu dimudahkan oleh-Nya.”
Tambah Awang. Zul merangkul sahabat sejak kecilnya itu. Merangkulnya dengan
erat. Tak henti-hentinya ucapan syukur mengalir dari bibirnya. Awang pun ikut
berkomat-kamit. Ia berulangkali memanjatkan do’a untuk sahabat sejatinya itu.
Zul tahu, ini baru awal perjuangannya. Mendapat restu dari sahabatnya. Belum
dari orangtuanya. Ia tahu, orangtuanya akan mendebatnya seperti Awang. Bahkan
mungkin lebih parah. Tapi ia juga tahu, Awang—sahabat sejatinya sepanjang
masa—telah mendukungnya. Dukungan dari Awang adalah pil pembangkit semangat
kapan saja. Ia telah mendapatkan pil itu, maka ia tak kan pusing dan mudah
menyerah begitu saja.
Dua
bocah kampung itu masih bersenda gurau di bawah langit senja yang jingga di
temani burung-burung yang ramai mulai kembali ke sarangnya, di atas bukit yang
berada di sebelah kampungnya. Mereka mencoba merangkai mimpi pada awan jingga.
Berharap angin senja membawa mimpinya pada kehidupan nyata. Bercengkerama
sebelum akhirnya mimpi-mimpi mereka memisahkan raga mereka dalm damai dan
kepuasaan. Pada senja di atas bukit, mereka labuhkan kelelahan berharap di hari
itu. Mandamba perubahan pada setiap hembusan angin sore musim kemarau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar